Mungkin bagi yang mensyaratkan adanya dp atau tanda jadi bisa juga di terima alasannya
- adanya hukum dan nash yang mengajurkan adanya dp atau tanda jadi
- biar pemesan tidak main main dalm melakukan transaksi sehingga tidak gampang membatalkan
- Menjadi tanda keseriusan bagi jasa Aqiqah untuk menyiapkan yang di inginkan konsumen dengan Profesional.
Pendapat Yang Menyatakan Jual Beli Dengan Uang Muka Diperbolehkan.
Inilah pendapat madzhab Hambaliyyah. Dan diriwayatkan bolehnya jual beli
ini dari Umar, Ibnu Umar, Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin
Sirin.[15]
Al Khathabi mengatakan: Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar
bahwa beliau memperbolehkan jual beli ini dan juga diriwayatkan dari
Umar.
Imam Ahmad cenderung mengambil pendapat yang membolehkannya
dan menyatakan. Aku tidak akan mampu menyatakan sesuatu sedangkan ini
pendapat Umar Radhiyallahu ‘anhu yaitu bolehanya jual-beli dengan uang
muka. Ahmad juga melemahkan (mendhoifkan) hadits larangan jual-beli yang
seperti ini, disebabkan terputus. [16]
Argumentasi pendapat yang membolehkan ini, yaitu sebagaimana berikut ini.
[a]. Atsar yang berbunyi:
عَنْ نَفِعِ بْنِ الحارث, أَنَّهُ اشْتَرَى لِعُمَرَ دَارَ
السِّجْنِ مِنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ, فَإِنْ رَضِيَ عُمَرُ , وَ
إِلاَّ فَلَهُ كَذَا وَ كَذَا
Dari Nafi bin Al-Harits, sesungguhnya ia pernah membelikan
sebuah bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah, (dengan
ketentuan) Apabila Umar suka. Bila tidak, maka Shafwan berhak
mendapatkan uang sekian dan sekian.
Al-Atsram berkata: “Saya bertanya kepada Ahmad: “Apakah
Anda berpendapat demikian?” Beliau menjawab: “Apa yang harus kukatakan?
Ini Umar Radhiyallahu ‘anhu (telah berpendapat demikian)” [17]
[b]. Hadits Amru bin Syuaib adalah lemah, sehingga tidak
dapat dijadikan sandaran dalam melarang jual beli dengan sistem uang
muak ini.
[c]. Uang muka adalah kompensasi yang diberikan kepada
penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa
waktu. Dia tentu saja akan kehilangan sebagian kesempatan berjualan.
Dengan demikian, maka tidaklah benar pandangan yang mengatakan, bahwa
uang muka telah dijadikan syarat oleh penjual tanpa ada imbalannya.
[d]. Tidak sahnya qiyas (analogi) jual beli ini dengan
al-khiyar al majhul (hak pilih terhadap barang yang tidak diketahui),
karena syarat dibolehkannya uang muka ini adalah dibatasinya waktu
menunggu. Dengan dibatasinya waktu pembayaran, batal analogi tersebut,
dan hilangnya sisi yang dilarang dari jual beli tersebut.
PENDAPAT PARA ULAMA KONTEMPORER
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah pernah ditanya : Bagaimana hukum melaksanakan jual beli sistem panjar (al-urbun) apabila belum sempurna jual belinya?. Bentuknya yaitu, dua orang melakukan transaksi jual beli, Apabila jual beli sempurna maka pembeli melunasi nilai pembayarannya dan bila pembeli batal melakukan pembelian, maka si penjual mengambil DP (uang muka) tersebut dan tidak mengembalikannya kepada pembeli?
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah pernah ditanya : Bagaimana hukum melaksanakan jual beli sistem panjar (al-urbun) apabila belum sempurna jual belinya?. Bentuknya yaitu, dua orang melakukan transaksi jual beli, Apabila jual beli sempurna maka pembeli melunasi nilai pembayarannya dan bila pembeli batal melakukan pembelian, maka si penjual mengambil DP (uang muka) tersebut dan tidak mengembalikannya kepada pembeli?
Pertanyaan ini dijawab oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
rahimahullah sebagai berikut : Tidak mengapa mengambil DP (uang muka)
tersebut, menurut pendapat yang rajih dari dua pendapat ulama. Apabila
penjual dan pembeli telah sepakat untuk itu dan jual belinya tidak
dilanjutkan (tidak disempurnakan)” [18]
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta (Komite
Tetap Untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa) Kerajaan Saudi Arania,
menyebutkan dalam fatwanya sebagai berikut.
[1]. Fatwa no. 9388
Pertanyaan : Bolehkah seorang penjual mengambil uang muka (‘Urbuun) dari pembeli? Dan jika pembeli batal membelinya atau mengembalikan pembeliannya, apakah secara hukum syari’at si penjual berhak mengambil uang muka tersebut untuk dirinya tanpa mengembalikannya kepada si pembeli?
Pertanyaan : Bolehkah seorang penjual mengambil uang muka (‘Urbuun) dari pembeli? Dan jika pembeli batal membelinya atau mengembalikan pembeliannya, apakah secara hukum syari’at si penjual berhak mengambil uang muka tersebut untuk dirinya tanpa mengembalikannya kepada si pembeli?
Jawaban: Apabila keadaannya demikian, maka dibolehkan bagi
si penjual untuk memiliki uang muka tersebut untuk dirinya dan tidak
mengembalikannya kepada pembeli –menurut pendapat yang rojih- apabila
keduanya telah sepakat untuk itu.[19]
[2]. Fatwa no. 1963:
Pertanyaan : Al ‘Urbuun sudah dikenal dengan (penyebutan) uang muka sedikit, yang diserahkan pada waktu membeli berfungsi sebagai tanda jadi, sehingga menjadikan barang dagangan tersebut tergantung. Apa hukum jual beli tersebut? Banyak dari para penjual yang mengambil harta urbuun (uang mukar) ketika pelunasan pembayaran gagal, bagaimana hukumnya?
Pertanyaan : Al ‘Urbuun sudah dikenal dengan (penyebutan) uang muka sedikit, yang diserahkan pada waktu membeli berfungsi sebagai tanda jadi, sehingga menjadikan barang dagangan tersebut tergantung. Apa hukum jual beli tersebut? Banyak dari para penjual yang mengambil harta urbuun (uang mukar) ketika pelunasan pembayaran gagal, bagaimana hukumnya?
Jawaban: Jual beli dengan DP (‘urbuun) diperbolehkan.
Jual-beli ini dengan membawa seorang pembeli kepada penjual atau agennya
(wakilnya) sejumlah uang yang lebih sedikit dari harga barang tersebut
setelah selesai transaksi, sebagai jaminan barang. Ini dilakukan agar
selain pembeli tersebut tidak mengambilnya dengan ketentuan apabila
pembeli tersebut mengambilnya maka uang muka tersebut terhitung dalam
bagian pembayaran dan bila tidak mengambilnya maka penjual berhak
mengambil uang muka tersebut dan memilikinya.
Jual beli dengan uang muka (‘urbuun) ini sah, baik telah
menentukan batas waktu pembayaran sisanya atau belum menentukannya. Dan
secara syar’i, penjual memiliki hak menagih pembeli untuk melunasi
pembayaran setelah sempurna jual beli dan terjadi serah terima barang.
Dibolehkannya jual beli ‘urbuun ini ditunjukkan oleh perbuatan Umar bin
Al Khathab. Imam Ahmad menyatakan tentang jual beli seperti ini boleh.
dan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma juga membolehkannya. Sa’id bin
Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin mengatakan: “Diperbolehkan bila ia
tidak ingin, untuk mengembalikan barangnya dan mengembalikan bersamanya
sejumlah harta.”.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
“(Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual
beli dengan uang muka), ini merupakan hadits yang lemah (dhaif), Imam
Ahmad dan selainnya telah mendhaifkannya, sehingga (hadits ini) tidak
bisa dijadikan sandaran. [20]
Majlis Fikih Islam, dalam seminar ke-8 berkesimpulan
dibolehkannya jual beli dengan uang muka. Berikut ini
ketetapan-ketetapan yang telah disepakati.
Pertama: Yang dimaksud dengan jual beli dengan uang muka
adalah, menjual barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si
penjual dengan syarat bila pembeli jadi mengambil barang tersebut, maka
uang muka tersebut masuk dalam harga yang harus dibayar. Namun kalau si
pembeli tidak jadi jadi membelinya, maka sejumlah uang (muka yang
dibayarkan) tersebut menjadi milik penjual. Transaksi ini selain berlaku
untuk jual beli juga berlaku untuk sewa menyewa, karena menyewa berarti
membeli fasilitas.
Di antara jual beli yang tidak diperbolehkan dengan sistem
uang muka adalah jual beli yang memiliki syarat harus ada serah terima
pembayaran atau barang transaksi di lokasi akad (jual beli as-salm) atau
serah terima keduanya (barter komoditi riba fadhal dan Money Changer).
Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi orang yang
mengharuskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun hanya pada
fase penjualan kedua yang dijanjikan.
Kedua: Jual beli dengan uang muka dibolehkan bila waktu
menunggunya dibatasi secara pasti, Uang muka tersebut dimasukkan sebagai
bagian pembayaran, bila sudah dibayar lunas. Dan menjadi milik penjual
bila si pembeli tidak jadi melakukan transaksi pembelian.[21]
Namun perlu diingat bila penjual mengembalikan uang muka
tersebut kepada pembeli ketika gagal menyempurnakan jual belinya, maka
itu lebih baik dan lebih besar pahalanya disisi Allah sebagaimana
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَهُ اللَّهُ عَثْرَتَهُ
“Barangsiapa yang berbuat iqaalah dalam jual belinya kepada
seorang muslim maka Allah akan bebaskan ia dari kesalahan dan dosanya”
Iqalah dalam jual beli dapat digambarkan, seseorang membeli
sesuatu dari seorang penjual, kemudian pembeli ini menyesal membelinya.
Karena menegtahui sangat rugi atau sudah tidak membutuhkan lagi, atau
tidak mampu melunasinya, lalu pembeli itu mengembalikan barangnya kepada
penjual dan si penjual menerimanya kembali (tanpa mengambil sesuatu
dari pembeli).[22]
Demikian permasalahan jual beli dengan pemberian uang muka, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun
X/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnotes
[1]. Diambil dari catatan penulis dari penjelasan Syaikh DR. Abdulqayum As-Sahibaani dalam pelajaran kitab Nailul Authar di Universitas Islam Madinah, pada tanggal 11-6- 1418 H dan ada juga dalam Al Mughni Ibnu Qudamah (6/331).
[2]. Lihat Al Qaamus Al-Muhith Karya Al_Fairuz Abadi, cetakan kelima tahun 1416 H, Muassasah Al Risalah hal 1568
[3]. Catatan penulis dari keterangan Syeikh Abdulqayyum. As-Sahibaani
[4]. Al Mughni 6/ 331
[5]. Yaitu hadits Amru bin Syu’aib berikutnya (penulis)
[6]. Tentang al-gharar, lihat penjelasannya pada rubrik Fiqih dalam majalah As Sunnah Edisi:04/X/1427H/2006M
[7]. Ma’alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud pada footnote sunan Abu Daud 3/768.
[8]. Al Mughni 6/331.
[9]. HR imam Maalik dalam Al-Muwattha 2/609, Ahmad dalam Musnadnya (no.6436) 2/183, Abu Dawud no. 3502 (3/768) dan Ibnu Majah 3192. lafadznya lafadz Abu Daud. Namun sanadnya lemah. Hadits ini dinilai dhoif (lemah) oleh Syeikh Al Albani dalam kitab Dhaif Sunan Abu Daud no. 3502 dan Dhaif Sunan Ibnu Majah 487/3192, Al Misykah 2864 dan Dhoif Al Jami’ Al Shoghir 6060
[10]. Lihat Al Mughni 6/331
[11]. Lihat Shahih Fiqhus Sunnah 4/411
[12]. IIid
[13]. Ibid
[14]. Nailul Authar 6/289.
[15]. Lihat Al Mughni 6/331
[16]. Ma’alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud pada footnote sunan Abu Daud (3/768)
[17]. Diriwayatkan oleh Al-Atsram dengan sanadnya. Lihat Al-Mughni (6/331)
[18]. Fiqh wa Fatawa Al-buyu, disusun ASyraf Abdul Maqshud, hal.291, dinukil dari Shahih Fiqhus Sunnah (4/412)
[19]. Fatawa Lajnah Daimah (13/132) yang ditanda tangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdur Razaq Afifi dan Abdullah bin Ghadayan
[20]. Ibid. (13/133-134)
[21]. Ketetapan no. 72, Lihat majalah Al-Majma edisi 8 dan kitab Ma La Yasa’u Yasa’u At-Tajira Jahluhu, Prof Dr Abdullah.Al-Mushlih dan Prof. Dr Shalah Ash-Shawi. Telah diindonesiakan dengan judul Fiqih Ekonomi Keungan Islam, Penerbit Darul Haq, Edisi terjemah, hal. 134
[22]. Lihat Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud (9/237)
________
Footnotes
[1]. Diambil dari catatan penulis dari penjelasan Syaikh DR. Abdulqayum As-Sahibaani dalam pelajaran kitab Nailul Authar di Universitas Islam Madinah, pada tanggal 11-6- 1418 H dan ada juga dalam Al Mughni Ibnu Qudamah (6/331).
[2]. Lihat Al Qaamus Al-Muhith Karya Al_Fairuz Abadi, cetakan kelima tahun 1416 H, Muassasah Al Risalah hal 1568
[3]. Catatan penulis dari keterangan Syeikh Abdulqayyum. As-Sahibaani
[4]. Al Mughni 6/ 331
[5]. Yaitu hadits Amru bin Syu’aib berikutnya (penulis)
[6]. Tentang al-gharar, lihat penjelasannya pada rubrik Fiqih dalam majalah As Sunnah Edisi:04/X/1427H/2006M
[7]. Ma’alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud pada footnote sunan Abu Daud 3/768.
[8]. Al Mughni 6/331.
[9]. HR imam Maalik dalam Al-Muwattha 2/609, Ahmad dalam Musnadnya (no.6436) 2/183, Abu Dawud no. 3502 (3/768) dan Ibnu Majah 3192. lafadznya lafadz Abu Daud. Namun sanadnya lemah. Hadits ini dinilai dhoif (lemah) oleh Syeikh Al Albani dalam kitab Dhaif Sunan Abu Daud no. 3502 dan Dhaif Sunan Ibnu Majah 487/3192, Al Misykah 2864 dan Dhoif Al Jami’ Al Shoghir 6060
[10]. Lihat Al Mughni 6/331
[11]. Lihat Shahih Fiqhus Sunnah 4/411
[12]. IIid
[13]. Ibid
[14]. Nailul Authar 6/289.
[15]. Lihat Al Mughni 6/331
[16]. Ma’alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud pada footnote sunan Abu Daud (3/768)
[17]. Diriwayatkan oleh Al-Atsram dengan sanadnya. Lihat Al-Mughni (6/331)
[18]. Fiqh wa Fatawa Al-buyu, disusun ASyraf Abdul Maqshud, hal.291, dinukil dari Shahih Fiqhus Sunnah (4/412)
[19]. Fatawa Lajnah Daimah (13/132) yang ditanda tangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdur Razaq Afifi dan Abdullah bin Ghadayan
[20]. Ibid. (13/133-134)
[21]. Ketetapan no. 72, Lihat majalah Al-Majma edisi 8 dan kitab Ma La Yasa’u Yasa’u At-Tajira Jahluhu, Prof Dr Abdullah.Al-Mushlih dan Prof. Dr Shalah Ash-Shawi. Telah diindonesiakan dengan judul Fiqih Ekonomi Keungan Islam, Penerbit Darul Haq, Edisi terjemah, hal. 134
[22]. Lihat Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud (9/237)

![]() |
K
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar