Daging susah dipasar,harga jadi naik,apa ada yang menahan keluarnya sapi??? kalau gitu cari dulu ah.. hukumnya khawatir salah memaknai
Monopoli
atau ihtikar artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat
berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan
besar, sedang masyarakat dirugikan.
Monopoli
seperti ini dilarang dan hukumnya adalah haram, karena perbuatan
demikian didorong oleh nafsu serakah, loba dan tamak, serta mementingkan
diri sendiri dengan merugikan orang banyak. Selain itu juga menunjukan
bahwa pelakunya mempunyai moral dan mental yang rendah.
Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga kriteria:
a. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun penuh.
b.
Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi
dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat
membelinya dengan harga mahal.
c.
Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan,
sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak
pedagang, tetapi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak
merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun.
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ ر.ض أن رَسُوْل اللهِ ص.م قَال: لَا يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلَا تَلَقَّوْا السِّلَعَ حَتَّى يُهْبَطَ بِهَا إِلَى الاسُّواقِ . (رواه داود)
Hadis dari Abdullah bin umar,
bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: Tidak boleh sebagian di antara
kalian membeli barang dagangan dari penjualan (di atas penawaran) orang
lain. Dan tidak boleh menjemput para penjual sampai ia meletakkan barang
dagangannya di pasar [riwayat Abu Daud 2: 132]
عن ابى هريرة ر.ض أن النبى ص.م نَهى عن تلقى الجلبِ فإن تلقاهُ متلقٍ مشترٍ فا شتراه فصاحب السلعة بِا لخيار اذا وردت السوق. (رواه ابو داود)
Dari Abu Hurairah r.a sesungguhnya Nabi SAW melarang
عن ابن عباس ر.ض قال : نهى رسول الله ص.م ان بيع حاضر لباد فقلت ما يبيع حاضر لباد ؟ قال : لا يكون له سمسارا (رواه ابو داود)
Dari Ibnu Abas r.a. ia berkata: Rasulullah SAW melarang orang kota menjual barang buat orang desa. Maka bertanya ( Ibnu Abas) : apa yang dimaksud
bahwa orang kota tidak boleh menjual dagangannya dengan orang desa itu ?
jawab: maksudnya janganlah orang kota menjadi makelar atau perantara
(penghubung yang memuji-muji dagangannya bagi orang desa.” [Riwayat: Abu Daud 2: 132]
Dari
hadits diatas dapat diketahui bahwa penduduk kota tidak boleh menjual
kepada penduduk desa, baik desa itu jauh meupun dekat dengan kota, baik
diwaktu harga mahal ataupun murah (turun), baik di waktu penduduk kota
memerlukan barang maupun tidak, baik menjual secara bertahap ataupun
sekaligus.
Perantara menurut penafsiran Ibnu Abas dari kata Hadiru libad, yakni penduduk kota menjadi perantara
bagi penduduk desa, dengan kata lain mengambil keuntungan atau bayaran.
Jika perantara tidak mengambil keuntungan atau bayaran itu
diperbolehkan secara mutlak, bahkan orang tersebut dianggap telah
melakukan kebaikan bagi para penduduk.
Namun
demikian, tujuan para tengkulak dari kota menjadi perantara tiada kata
lain mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya, mereka membodohi penduduk
desa dengan menjual barang dengan sangat tinggi sesuai dengan keinginan
mereka, perbuatan tersebut tentu saja dilarang oleh islam kerena sangat
memudaratkan.
Penduduk
desa sebenarnya dapat langsung pergi kekota untuk membeli barang
tersebut, tidak melalui perantara, akan tetapi karna kebodohan mereka
atau sebab sebab lain, mereka tidak dapat pergi ke kota. Keadaan
tersebut dimanfaatkan oleh para perantara hingga penduduk desa membeli
barang dengan harga sangat tinggi. Mereka membeli barang tersebut karena
sangat membutuhkan dan kebodohan mereka tentang harga sebenarnya.
Tentu
saja berbeda hukumnya, bila perantara betul-betul berusaha menolong
penduduk yang tidak dapat membeli langsung dari pasar atau dari para
kafilah, sebagai mana telah disebutkan diatas barang-barang tersebut
tidak akan sampai ketangan penduduk jika tidak melalui tengkulak
(perantara). Perantara seperti itu dibolehkan bahkan ia telah menjadi
penolong bagi orang-orang yang tidak mampu kekota untuk membeli barang,
akan tetapi harga jangan sampai mencekik penduduk, lebih baik tidak
mengambil keuntungan. Ia hanya mengambil keuntungan sedikit atau
sekedarnya saja. Perantara seperti itu di kategorikan sebagai pedagang
yang diperbolehkan dalam islam, bahkan kalau jujur dan bersih, mereka
telah melakukan pekerjaan yang paling baik.
Kita
ketahui dalam sejarah, bahwa masyarakat arab banyak mata pencariannya
sebagai pedagang. Mereka berdagang dari negeri yang satu ke negeri yang lain. Ketika mereka kembali, mereka membawa barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh penduduk mekkah.
Mereka datang bersama rombongan besar yang disebut kafilah. Penduduk
arab berebut untuk mendapatkan barang tersebut karena harganya murah.
عنْ مَعْمَرِبْنِ أَبِى مَعْمَرٍ ر.ض (أَحَدِ بَنِى عَدِىِّ بْنِ كَعْبٍ)
قال : قال رَسُولُ اللهِ ص.م لاَيحتكرإِلاَ خاَطِئٌ فقُلْتُ لِسَعِد :
فإِنَّكَ تَحْتَكِرُ, قال : وَمَعمرٌ كاَنَ يحتكِرُ, قال ابو داود: وَسألتُ
أحمد ما الحكرةُ ؟ قال ما فيه عَيْشُ النَّاسِ , قاَلَ أبو داود : قال
الأَوْزاعِيُّ المُحْتَكِرُ مَنْ يَعْتَرِضُ السُّوْقَ (رواه ابو داود)
Dari
Ma’mar bin Abu Ma’amar (salah satu anaknya Adi bin Hatim) berkata :
Rasullah SAW bersabda, “Tidak memonopoli kecuali yang melakukan
kesalahan”.
Salah
satu perawi hadis di atas berkata : lalu aku berkata kepada sa’id
(gurunya) , “sesungguhnya kamu juga memonopoli”. Said berkata Ma’mar
juga memonopoli.
Abu Daud berkata : Aku bertanya kepada Ahmad, Apa yang dimaksud dengan monopoli ? Ahmad menjawab,
“sesuatu yang mengganggu kehidupan manusia.”
Abu Daud berkata:”menurut Al-Auzai, orang yang memonopoli adalah orang yang mengganggu stabilitas pasar. [riwayat Abu Daud]
Dari Ma’mar, Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda, “Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa“. [HR Muslim]
Ihtikar adalah membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya barang tersebut langka di pasaran dan harganya menjadi naik.
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan.
At Tirmidzi berkata [sunan III/567], “Hukum
inilah yang berlaku dikalangan ahli ilmu. Mereka melarang penimbunan
bahan makanan. Sebagian ulama membolehkan penimbunan selain bahan
makanan. Ibnul Mubarak berkata, “Tidak mengapa menimbun kapas, kulit
kambing yang sudah disamak (sakhtiyan), dan sebagainya“.
Al Baghawi berkata [Syarhus Sunnah VIII/178-179], “Para
ulama berbeda pendapat tentang masalah ihtikar. Diriwayatkan dari Umar
bahwa ia berkata, “Tidak boleh ada penimbunan barang di pasar kami.
Yakni sejumlah oknum dengan sengaja memborong barang-barang di pasar
lalu ia menimbunnya. Akan tetapi siapa saja yang memasukkan barang dari
luar dengan usaha sendiri pada musim dingin atau musim panas, maka
terserah padanya apakah mau menjualnya atau menyimpannya.”"
Diriwayatkan
dari Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan Ats
Tsauri juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik
mengatakan, “Dilarang menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh
jenis barang yang dapat merugikan pasar”.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku pada bahan
makanan saja. Sedangkan barang-barang lainnya tidak mengapa. Ini
pendapat Abdullah bin Al Mubarak dan Imam Ahmad.
Imam Ahmad berkata, “Penimbunan
barang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu seperti Makkah,
Madinah atau tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak berlaku
seperti di Bashrah dan Baghdad, karena kapal dapat berlabuh di sana“.
An Nawawi berkata [Syarh Shahih Muslim XI/43], “Hadits
diatas dengan jelas menunjukkan haramnya ihtikar. Para ulama Syafi’i
mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah penimbunan barang-barang
pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga mahal dan menjualnya
kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia simpan sampai harga
melonjak naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau
membelinya pada saat harga murah lalu ia menyimpannya karena
kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat itu juga, maka itu bukan
ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak
diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga. Begitulah perinciannya
dalam madzhab kami“.
Kemudian
para ulama berpendapat, “Adapun yang disebutkan dalam kitab dari Said
bin Al Musayyin dan Ma’mar, yang meriwayatkan hadits, bahwa keduanya
menimbun barang, maka Ibnu Abdil Barr dan ulama lainnya mengatakan,
“Sesungguhnya barang ditimbun oleh keduanya adalah minya. Keduanya
membawakan larangan dalam hadits tersebut kepada penimbunan bahan
makanan pokok yang sangat dibutuhkan dan pada saat harga mahal. Demikian
juga Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan ulama lainnya. Dan pendapat
Di
dalam ekonomi Islam pembahasan mengenai ketidakadilan dalam pasar sudah
diatur dengan jelas. Diantaranya keharaman ihtikaar (menimbun barang
langka sehingga harga naik) yang biasanya terjadi akibat adanya monopoli
oleh seseorang atau suatu perusahaan. Pemerintah berhak mengaturnya
jika terjadi hal demikian dengan cara pengawasan terhadap harga regulasi
harga
Karena itu, pemerintah seharusnya sejak awal telah mengantisipasi agar tidak terjadi penimbunan barang, yang
dibutuhkan oleh orang banyak. Pemerintah harus melakukan penetapan
harga yang adil atas setiap barang yang menjadi hajat orang banyak.
Harga yang adil itu didapat dengan mempertimbangkan modal dan keuntungan
bagi pedagang serta tidak terlalu memberatkan masyarakat. Bahkan,
pemerintah tidak boleh mengekspor barang kebutuhan warganya sampai tidak
ada lagi yang dapat dikonsumsi warga, sehingga membawa mudharat bagi
masyarakat. Pada hakikatnya pengeksporan barang yang dibutuhkan
masyarakat sama dengan ihtikar dari segi akibat yang dirasakan oleh
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar