
Pagi
yang sibuk di Pasar Hewan Sunggingan, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa
(17/8). Ribuan manusia mengerumuni seribuan sapi yang dijajakan di pasar
yang buka setiap Pahing (hari dalam sistem penanggalan Jawa) itu.
Sapi-sapi dijajakan menurut jenis dan usia. Sapi perah, pedet (anak
sapi), dan sapi bakalan ada di sisi utara. Sapi jawa di sisi selatan dan
sapi lemon siap potong di tengah pasar.
Menjelang
tengah hari, keramaian pasar memuncak. Suasana begitu hiruk pikuk.
Suara orang tawar menawar bersaing dengan lenguh sapi.
Di
tengah keramaian itu, Prapto Sunarto (57) memeriksa sapi perah yang
dituntun seorang lelaki. Dia memegang ambing sapi betina itu dan
memerahnya. Setelah yakin sapi betina itu sehat dan sedang memproduksi
susu, blantik itu pun menawar dalam bahasa Jawa. “Njuk piro? Pitungewu telungatus, piye?” (Minta berapa? Bagaimana kalau tujuh ribu tiga ratus, 7.300?).
“Tambah setengah,” balas si pemilik sapi.
Berapa sebenarnya harga sapi itu? Ternyata, pitungewu telungatus yang
dimaksud Prapto adalah Rp 7,3 juta. Sedangkan setengah menurut si
penjaja adalah Rp 500.000. Jadi, jauh sebelum pemerintah mewacanakan
redenominasi, blantik dan pedagang sapi Sunggingan sudah duluan menghapus tiga angka nol pada pecahan uang besar.”Redenominasi” itu dilakukan karena menurut mereka tidak elok harga sapi sampai jutaan.
Hiruk
pikuk juga terlihat di Pasar Hewan Munggi, Gunung Kidul, Yogyakarta,
yang buka setiap Kliwon. Selasa (10/8) pagi, ratusan sapi diturunkan
dari sejumlah truk. Satu-dua sapi sengaja dibiarkan berlarian di tengah
pasar. Pengunjung yang takut terseruduk lari menghindar.
Tidak ada yang protes pada blantik pembawa sapi “liar” itu. Orang sudah mafhum, begitulah cara blantik menunjukkan
sapi yang dia jajakan kondisinya sehat walafiat. Strateginya memang
berhasil. Tidak lama setelah sapi itu beraksi, seorang pembeli datang
menawar.
Setelah
harga disepakati, pembeli memberikan uang receh Rp 500 sebagai tanda
jadi. Begitulah. Di Pasar ini, pembeli cukup memberi panjar dengan koin
pecahan mulai dari Rp 50, Rp 100, Rp 500, hingga Rp 1.000. Sisanya
dibayar menjelang pasar tutup.
Kenapa
uang receh?” Ah, kami kan saling kenal dan percaya. Meski panjar hanya
Rp 100, kami tidak akan menjual sapi itu kepada orang lain,”kata Ahid, blantik sapi. Inilah cermin kejujuran rakyat yang tak terimbas jurus mark up, anak kandung budaya korupsi yang menjijikkan itu.
Pesta jual-beli
Selain
Sunggingan dan Munggi, ada pasar sapi lainnya di Boyolali dan
Yogyakarta yang buka secara bergantian setiap hari tertentu menurut
sistem penanggalan Jawa. Pasar Ampel (Boyolali) buka setiap Kliwon;
Siono (Gunung Kidul) setiap wage; Imogiri (Bantul) setiap Legi;
Prambanan (perbatasan Sleman-Klaten) setiap Pon dan Legi.
Pada hari pasar itulah para blantik atawa
pedagang sapi dan pembeli terlibat “pesta jual-beli” sapi. Di
Sunggingan, sekitar 1.000 ekor sapi perah maupun potong dijajakan setiap
hari pasar. Yang terjual bisa 300-400 ekor. Pedet dihargai rata-rata
2,5 juta. Sapi besar bisa belasan juta rupiah, tergantung berat dan
kondisinya.
“Kalau
seekor sapi rata-rata dihargai Rp 6 juta saja, maka uang yang beredar
setiap hari pasar di Sunggingan mencapai Rp 2,4 miliar,” kata Kepala
Pelaksana Teknis Dinas Pasar Hewan Sunggingan Bambang Supriyadi. Nilai
transaksi itu biasanya melonjak 10 persen menjelang Lebaran seperti saat
ini.
Selain
dari penjualan sapi, pasar sapi juga menciptakan bisnis turunan yang
nilainya tak kalah besar, mulai dari penjualan rumput, jamu sapi, jasa ngeluwi (mencocok hidung sapi), memeriksa sapi bunting, pemandian sapi, sewa kandang, hingga pijat sapi.
Para
pelaku bisnis itu semua bermuara di pasar sapi. Mugi Harjono, pedagang
sapi asal Ngelipar, Gunung Kidul, misalnya, setiap hari keliling ke
pasar hewan di sekitar Yogyakarta untuk menjajakan sapinya. “Kliwon saya
jualan di Munggi, Wage di Siono, Legi di Imogiri, Pon di
Prambanan.Liburnya Cuma Pahing.”
Blantik sapi
pun berkeliling setiap hari ke pasar sapi yang buka. Margono asal
Karanggenan, Boyolali, biasanya keliling pasar sapi di Wonogiri,Pacitan,
Tasikmalaya, Ngawi, dan Madiun untuk mencari sapi. Hasilnya dia jajakan
lagi di pasar-pasar sapi di Boyolali dan sekitarnya.
“Pedagang, blantik,pembeli sebenarnya muter-muter di pasar-pasar yang sama. Sapinya juga begitu sampai dia jatuh ke pejagalan atau ke tangan peternak,” kata Margono.
Persentuhan di pasar sapi secara alamiah menciptakan jejaring ekonomi yang kuat. Ada jejaring pedagang-blantik-peternak; pedagang-blantik-pejagalan;
dan peternak-pengepul susu-pabrik susu. Jejaring ini melebar hingga
sampai ke konsumen. Kekuatan inilah yang membuat mereka tetap bertahan
meski kenijakan impor sapi pemerintah menurunkan harga sapi potong
hingga Rp 1 jutaan per ekor di pasar Sunggingan dan Munggi.
Begitulah,
ketika kebijaksanaanekonomi belum berpihak kepada kaum jelata, rakyat
menghidupkan perekonomian diantara lenguh-lenguh sapi, tanpa mengeluh
pula.
Terima kasih sapi....
Kompas, Minggu 22 Agustus 2010
Oleh : BUDI SUWARNA DAN ANTONY LEE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar